-> SEJARAH <-
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok , namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit
akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan
di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan
diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini
akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar
bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan
politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong",
raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya
ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang
menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas
segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak
yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan
Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang
berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng
Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai
lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok.
Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam.
Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk
dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara
masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan
karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja
Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di
tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan
Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak
Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok
(pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki
ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara
Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi
warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam
pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk
adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga.
Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang
awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka
menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
-> LEGENDA REOG PONOROGO <-
Dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama Dewi
Sanggalangit. Ia puteri seorang raja yang terkenal di Kediri. Karena
wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lemah lembut banyak para
pangeran dan raja-raja yang ingin meminangnya untuk dijadikan sebagai
istri.
Namun sayang Dewi Sanggalangit nampaknya belum berhasrat
untuk berumah tangga. Sehingga membuat pusing kedua orang tuanya.
Padahal kedua orang tuanya sudah sangat mendambakan hadirnya seorang
cucu. “Anakku, sampai kapan kau akan menolak setiap pangeran yang datang
melamarmu?” tanya Raja pada suatu hari.
“Ayahanda… sebenarnya
hamba belum berhasrat untuk bersuami. Namun jika ayahanda sangat
mengharapkan, baiklah. Namun hamba minta syarat, calon suami hamba harus
bisa memenuhi keinginan hamba.”
“Lalu apa keinginanmu itu?”
“Hamba belum tahu…”
“Lho? Kok aneh…?” sahut Baginda.
“Hamba akan bersemedi minta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan menghadap ayahanda untuk menyampaikan keinginan hamba.”
Demikianlah, tiga hari tiga malam Dewi Sanggalangit bersemedi. Pada hari keempat ia menghadap ayahandanya.
“Ayahanda,
calon suami hamba harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik.
Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang
diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar
sebanyak seratus empat puluh ekor. Nantinya akan dijadikan iringan
pengantin. Terakhir harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.”
“Wah berat sekali syaratmu itu!” sahut Baginda.
Meski
berat syaratnya itu tetap diumumkan kepada segenap khalayak ramai.
Siapa saja boleh mengikuti sayembara itu. Tidak peduli para pangeran,
putera bangsawan atau rakyat jelata.
Para pelamar yang tadinya
menggebu-gebu untuk memperistri Dewi Sanggalangit jadi ciut nyalinya.
Banyak dari mereka yang mengundurkan diri karena merasa tak sanggup
memenuhi permintaan sang Dewi.
Akhirnya tinggal dua orang yang
menyatakan sanggup memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit. Mereka adalah
Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Kelanaswandana dari
Kerajaan Bandarangin.
Baginda Raja sangat terkejut mendengar
kesanggupan kedua raja itu. Sebab Raja Singabarong adalah manusia yang
aneh. Ia seorang manusia yang berkepala harimau. Wataknya buas dan
kejam. Sedang Kelanaswandana adalah seorang raja yang berwajah tampan
dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak laki-laki. Anak
laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.
Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan persyaratan yang telah diumumkan.
Raja
Singabarong dari Kerajaan Lodaya memerintah dengan bengis dan kejam.
Semua kehendaknya harus dituruti. Siapa saja dari rakyatnya yang
membangkang tentunya akan dibunuh. Raja Singabarong bertubuh tinggi
besar. Dari bagian leher ke atas berwujud harimau yang mengerikan.
Berbulu lebat dan penuh dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memelihara
seekor burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya.
Ia sudah
mempunyai selir yang jumlahnya banyak sekali. Namun belum mempunyai
permaisuri. Menurutnya sampai detik ini belum ada wanita yang pantas
menjadi permaisurinya, kecuali Dewi Sanggalangit dari Kediri. Karena itu
ia sangat berharap dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh Dewi
Sanggalangit.
Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para
abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar. Mengerahkan para seniman dan
seniwatinya menciptakan tontonan yang menarik, dan mendapatkan seekor
binatang berkepala dua. Namun pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Kuda
kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi baru belum
tercipta, demikian pula binatang berkepala dua belum didapatkannya.
Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala.
“Hai
Patih coba kamu selidiki sampai bagaimana si Kelanaswandana
mempersiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Kita jangan sampai kalah
cepat oleh Kelanaswandana.”
Patih Iderkala dengan beberapa
prajurit pilihan segera berangkat menuju kerajaan Bandarangin dengan
menyamar sebagai seorang pedagang. Mereka menyelidiki berbagai upaya
yang dilakukan oleh Raja Kelanaswandana. Setelah melakukan penyelidikan
dengan seksama selama lima hari mereka kembali ke Lodaya.
“Ampun
Baginda. Kiranya si Kelanaswandana hampir berhasil mewujudkan permintaan
Dewi Sanggalangit. Hamba lihat lebih dari seratus ekor kuda kembar
telah dikumpulkan. Mereka juga telah menyiapkan tontonan yang menarik,
yang sangat menakjubkan.” Patih Iderkala melaporkan.
“Wah celaka!
Kalau begitu sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit sebagai
istrinya.” kata Raja Singabarong. “Lalu bagaimana dengan binatang
berkepala dua, apa juga sudah mereka siapkan?”
“Hanya binatang
itulah yang belum mereka siapkan. Tapi nampaknya sebentar lagi mereka
dapat menemukannya.” sambung Patih Iderkala.
Raja Singabarong menjadi gusar sekali. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan berkata keras.
“Patih
Iderkala! Mulai hari ini siapkan prajurit pilihan dengan senjata yang
lengkap. Setiap saat mereka harus siap diperintah menyerbu ke
Bandarangin.”
Demikianlah, Raja Singabarong bermaksud merebut
hasil usaha keras Raja Kelanaswandana. Setelah mengadakan persiapan yang
matang, Raja Singabarong memerintahkan prajurit mata-mata untuk
menyelidiki perjalanan yang akan ditempuh Raja Kelanaswandana dari
Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja Singabarong akan menyerbu mereka
di perjalanan dan merampas hasil usaha Raja Kelanaswandana untuk
diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit.
Raja Kelanaswandana
yang memerintah kerajaan Wengker berwajah tampan dan bertubuh gagah. Ia
memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun ada wataknya yang tidak
baik, ia suka mencumbui anak laki-laki. Ia menganggap anak laki-laki
yang berwajah tampan dan bertubuh molek itu seperti gadis-gadis remaja.
Hal ini sangat mencemaskan pejabat kerajaan dan para pendeta.
Menimbulkan kesedihan bagi para rakyat yang harus kehilangan anak
laki-lakinya sebagai pemuas nafsu Raja.
Patih Pujanggeleng dan
pendeta istana sudah berusaha menasehati Raja agar meninggalkan
kebiasaan buruknya itu namun saran mereka tiada gunanya. Raja tetap saja
mengumpulkan puluhan anak laki-laki yang berwajah tampan.
Pada
suatu hari Raja Kelanaswandana memanggil semua pejabat kerajaan dan para
pendeta. Ia berkata bahwa ia akan menghentikan kebiasaannya jika dapat
memperistri Dewi Sanggalangit dari Kediri. Sebab semalam ia mimpi
bertemu dengan gadis cantik jelita itu dalam tidur. Menurut para Dewa
gadis itulah yang akan menghentikan kebiasaan buruknya mencumbui anak
laki-laki.
Seluruh pejabat dan pendeta menyetujui kehendak Raja
yang ingin memperistri Dewi Sanggalangit. Maka ketika mereka mendengar
persyaratan yang diajukan Dewi Sanggalagit, mereka tiada gentar, seluruh
kawula kerajaan, baik para pejabat, seniman, rakyat biasa rela bekerja
keras guna memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit.
Karena mendapat
dukungan seluruh rakyatnya maka dalam tempo yang tidak begitu lama Raja
Kelanaswandana dapat menyiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hanya
binatang berkepala dua yang belum didapatnya. Patih Pujanggeleng yang
bekerja mati-matian mencarikan binatang itu akhirnya angkat tangan,
menyatakan ketidaksanggupannya kepada Raja.
“Tidak mengapa!” kata
Raja Kelanaswandana. ”Soal binatang berkepala dua itu aku sendiri yang
akan mencarinya. Sekarang tingkatkan kewaspadaan, aku mencium gelagat
kurang baik dari kerajaan tetangga.”
“Maksud Baginda?” tanya Patih Pujanggeleng penasaran.
“Coba kau menyamar jadi rakyat biasa, berbaurlah dengan penduduk di pasar dan keramaian lainnya.”
Perintah
itu dijalankan, maka Patih Pujanggeleng mengerti maksud Raja. Ternyata
ada penyusup dari kerajaan Lodaya. Mereka adalah para prajurit pilihan
yang menyamar sebagai pedagang keliling. Patih Pujanggeleng yang juga
mengadakan penyamaran serupa akhirnya dapat mengorek keterangan secara
halus apa maksud prajurit Lodoya itu datang ke Bandarangin.
Prajurit
Lodaya merasa girang setelah mendapatkan keterangan yang diperlukan. Ia
bermaksud kembali ke Lodoya. Namun sebelum melewati perbatasan, anak
buah Patih Pujanggeleng sudah mengepungnya, karena prajurit itu melawan
maka terpaksa para prajurit Bandarangin membunuhnya.
Patih Pujanggeleng menghadap Raja Kelanaswandana.
“Apa yang kau dapatkan?” tanya Raja Kelanaswandana.
“Ada
penyusup dari kerajaan Lodaya yang ingin mengorek keterangan tentang
usaha Baginda memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Singabarong
hendak merampas usaha Baginda dalam perjalanan menuju Kediri.”
“Kurang
ajar!“ sahut Raja Kelanaswandana. “Jadi Raja Singabarong akan
menggunakan cara licik untuk memperoleh Dewi Sanggalangit. Kalau begitu
kita hancurkan kerajaan Lodaya. Siapkan bala tentara kita.”
Sementara
itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari prajurit mata-mata yang
dikirim ke Bandarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan Patih
Iderkala menyusul ke perbatasan. Sementara dia sendiri segera pergi ke
tamansari untuk menemui si burung merak, karena pada saat itu kepalanya
terasa gatal sekali.
“Hai burung merak! Cepat patukilah kutu-kutu di kepalaku!” teriak Raja Singabarong dengan gemetaran menahan gatal.
Burung
merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja
Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.
Patukan-patukan
si burung merak terasa nikmat, asyik, bagaikan buaian sehingga Raja
Singabarong terlena dan akhirnya tertidur. Ia sama sekali tak mengetahui
keadaan di luar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor
kepadanya. Memang sudah diperintahkan kepada prajurit bahwa jika ia
sedang berada di tamansari siapapun tidak boleh menemui dan
mengganggunya, jika perintah itu dilanggar maka pelakunya akan dihukum
mati.
Karena tertidur ia sama sekali tak mengetahui jika di luar
istana pasukan Bandarangin sudah datang menyerbu dan mengalahkan
prajurit Lodaya. Bahkan Patih Iderkala yang dikirim ke perbatasan telah
binasa lebih dahulu karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin.
Ketika
peperangan itu sudah merembet ke dalam istana dekat tamansari barulah
Raja Singabarong terbangun karena mendengan suara ribut-ribut. Sementara
si burung mereka masih terus bertengger mematuki kutu-kutu dikepalanya,
jika dilihat sepintas dari depan Raja Singabarong seperti binatang
berkepala dua yaitu berkepala harimau dan burung merak.
“Hai mengapa kalian ribut-ribut?” teriak Raja Singabarong.
Tak
ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain
adalah Raja Kelanaswandana. Raja Bandarangin itu tahu-tahu sudah berada
di hadapan Raja Singabarong.
Raja Singabarong terkejut sekali. “Hai Raja Kelanaswandana mau apa kau datang kemari?”
“Jangan
pura-pura bodoh!” sahut Raja Kelanaswandana. “Bukankah kau hendak
merampas usahaku dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit!”
“Hem, jadi kau sudah tahu!” sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu.
“Ya,
maka untuk itu aku datang menghukummu!” berkata demikian Raja
Kelanaswandana mengeluarkan kesaktiannya. Diarahkan ke bagian kepala
Raja Singabarong. Seketika kepala Singabarong berubah. Burung merak yang
bertengger di bahunya tiba-tiba melekat jadi satu dengan kepalanya
sehingga Raja Singabarong berkepala dua.
Raja Singabarong marah
bukan kepalang, ia mencabut kerisnya dan meloncat menyerang Raja
Kelanaswandana. Namun Raja Kelanaswandana segera mengayunkan cambuk
saktinya bernama Samandiman. Cambuk itu dapat mengeluarkan hawa panas
dan suaranya seperti halilintar.
“Jhedhaaar…!” begitu terkena
cambuk Samandiman, tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar
di atas tanah. Seketika tubuhnya terasa lemah dan anehnya tiba-tiba
tubuhnya berubah menjadi binatang aneh, berkepala dua yaitu kepala
harimau dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya telah hilang.
Raja Kelanaswandana segera memerintahkan prajurit Bandarangin untuk
menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bandarangin.
Beberapa
hari kemudian Raja Kelanaswandana mengirim utusan yang memberitahukan
Raja Kediri bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi
Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil Dewi Sanggalangit.
“Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri Raja Kelanaswandana?”
“Ayahanda… apakah Raja Kelanaswandana sanggup memenuhi persyaratan hamba?”
“Tentu
saja, dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan.
Masalahnya sekarang, tidakkah kau menyesal menjadi istri Raja
Kelanaswandana?”
“Jika hal itu sudah jodoh hamba akan
menerimanya. Siapa tahu kehadiran hamba disisinya akan merubah kebiasaan
buruknya itu.” tutur Dewi Sanggalangit.
Demikianlah, pada hari
yang ditentukan datanglah rombongan Raja Kelanaswandana dengan kesenian
Reog sebagai pengiring. Raja Kelanaswandana datang dengan iringan
seratus empat puluh empat ekor kuda kembar, dengan suara gamelan,
gendang dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh, merdu
mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya seekor binatang berkepala
dua yang menari-nari liar namun indah dan menarik hati. Semua orang yang
menonton bersorak kegirangan, tanpa terasa mereka ikut menari-nari dan
berjingkrak-jingkrak kegirangan mengikuti suara musik.
Demikianlah,
pada akhirnya Dewi Sanggalangit menjadi permaisuri Raja Kelanaswandana
dan diboyong ke Bandarangin di Wengker. Wengker adalah nama lain dari
Ponorogo sehingga di kemudian hari kesenian Reog itu disebut Reog
Ponorogo.
-> TOKOH TOKOH DALAM SENI REOG <-
Jathil
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam
seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan
prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan
oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling
berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda
ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus,
berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun
lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog
Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya
Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan
lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog
Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung
oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.
Warok
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai
tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok
adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya,
seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran
kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang
telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang
kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian
Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian
Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik
lahir maupun batin.
Barongan (Dadak merak)
Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan
dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala
Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan
ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari
bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan
seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik -
manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.
Klono Sewandono
Klono Sewandono
atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki
pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut
Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini
selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk
melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari
yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono
berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk
menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan
mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang
sedang kasmaran.
Bujang Ganong (Ganongan)
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu
tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela
diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh
penonton khususnya anak - anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok
seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan
sakti.